Diplomasi Senyap China Dalam Perang Hamas VS Israel
mypulau.com - Sejumlah negara besar dunia mulai mengambil sisi dalam perang yang terjadi di antara Israel dengan penguasa Gaza Palestina, Hamas. Satu diantaranya ialah China. Beijing sudah mengirim utusannya untuk Timur tengah, Zhai Jun. Tetapi baik Presiden China Xi Jinping atau Menteri Luar Negerinya, Wang Yi, tidak pernah berkunjung daerah itu semenjak pecahnya pertarungan.
Xi sudah mengatakan gencatan senjata sementara Wang menjelaskan jika sumber perselisihan "berada pada realita jika keadilan belum sempat ditegakkan pada masyarakat Palestina" dan jika "hukuman kelompok" pada masyarakat Palestina harus disudahi. "Pengakuan semacam itu mengikuti dasar dasar China saat perselisihan pecah di antara Israel dan Palestina," menurut William Figueroa, pendamping profesor di Universitas Groningen, Senin (6/11/2023).
"Mereka ambil sikap yang berhati-hati sebelumnya dan mengatakan perdamaian dan menyumpah kekerasan pada masyarakat sipil dan konsentrasi pada keluh kesah Palestina," ucapnya ke Al Jazeera.
"Mereka ambil sikap menanti dan menyaksikan sebelumnya," sambungnya.
Pengakuan sama disuarakan Yao Yuan Yeh ialah profesor study internasional yang fokus pada Taiwan, China, dan Jepang di Universitas St Thomas, Amerika Serikat (AS). Dia sepakat jika walaupun ada kenaikan keterkaitan diplomatik China di Timur tengah belakangan ini, ini belum bermakna peranan perantaraan khusus dalam perang Hamas-Israel sekarang ini. "Kami belum betul-betul menyaksikan China lakukan suatu hal yang baru atau ambil posisi kepimpinan dalam perselisihan sekarang ini," katanya.
Baca Juga : Perang Israel vs Hamas: 5 Dampak Buruknya Pada Perekonomian
Hubungan Antara China Dengan Palestina
China secara bersejarah memberikan dukungan perjuangan Palestina sepanjang sejumlah dasawarsa, begitupun Uni Soviet sepanjang Perang Dingin. Belakangan ini, ke-2 kemampuan itu berusaha menyamakan jalinan lebih kuat dengan Israel dengan usaha diplomatik mereka yang bertambah luas untuk memperoleh sekutu di dunia Arab.
China berusaha membuat konsolidasi beberapa negara berkembang yang bertambah luas untuk meluaskan dampak Beijing dan perkuat usahanya untuk berkompetisi dengan AS di atas pentas global.
"Beijing telah pro-Palestina semenjak saat Mao dan sadar akan hubungan AS dengan Israel... (saat ini) sebagian besar hal yang disokong AS, harus dilawan oleh China," kata Dr Yu Jie, periset senior Tiongkok di lembaga pemikir Chatham House di London, ke The Guardian.
"Beijing ingin disaksikan sebagai simpatisan khusus beberapa negara Selatan, yang meliputi beberapa beberapa negara Arab yang menjaga jalinan pertemanan dengan China. Ini masalah jaga jalinan secara terus memberikan dukungan Palestina."
Beberapa riset memiliki pendapat jika China berusaha untuk menyeimbangi kekuatiran di dunia Islam dan Arab berkenaan tindakan Beijing pada etnis Muslim Uighur di daerah Xinjiang, China barat laut.
Timur tengah menyuplai beberapa keperluan minyak China dan adalah penyambung dalam ide Belt and Road, project infrastruktur berambisi yang ditargetkan Presiden Xi Jinping untuk menyambungkan pasar di penjuru dunia dan meluaskan dampak Beijing.
"Semenjak perang diawali, media pemerintahan China sudah mengomentari Israel dan mempersalahkan AS, karena kobarkan kemelut di daerah itu. Ada pula kenaikan content anti semit pada internet China yang dipantau ketat," menurut Yaqiu Wang, direktur riset untuk China, Hong Kong dan Taiwan dalam organisasi nirlaba Freedom House yang berbasiskan di AS. https://www.mypulau.com/
Turun Tangan
Dibalik keadaan ini, Beijing disebutkan terus akan terturut dalam stabilisasi Timur tengah. Salah satunya argumennya ialah kebutuhan ekonomi mereka di teritori itu, yang hendak terancam bila perselisihan semakin makin tambah meluas.
China sekarang benar-benar tergantung pada import minyak di luar negeri, dan beberapa riset memprediksi 1/2 dari import itu asal dari beberapa negara Teluk. Beberapa negara Timur tengah makin jadi pemain penting pada Ide Sabuk dan Jalan China (BRI), yang disebut dasar peraturan luar negeri dan ekonomi Beijing.
Argumen yang lain ialah penuntasan dari perselisihan ini akan memberi kesempatan emas untuk Beijing untuk tingkatkan popularitasnya. Jika perang selesai karena China, Negeri Tirai Bambu akan dicap sebagai pelamar yang lebih bagus untuk dunia dibanding AS, yang disebut pesaingnya.
"Selama ini, China mengendalikan diri tidak untuk serang AS karena suportnya pada Israel. Tetapi di saat yang masih sama, media pemerintahan "mengawali tanggapan nasionalis" dengan menyambungkan apa yang terjadi di Timur tengah dengan support AS pada Israel," kata pakar peraturan Luar Negeri China, Dawn Murphy.